Ketika melakukan pembinaan di beberapa sekolah, biasanya saya mengamati fasilitas sekolah dan pola perilaku siswa/siswi yang bisa mencerminkan wajah sekolah yang sebenarnya. Dari sekian banyak sekolah yang saya kunjungi itu, umumnya biasa-biasa saja dan tidak memberikan sebuah “daya kejut” bagi siapapun yang datang. Namun ketika diminta untuk datang ke sekolah Insan Teratai pada tanggal 17 Juli 2018, saya berjumpa dengan pelbagai keunikan di sekolah ini. Siswa-siswi yang mengenyam pendidikan di Insan Teratai umumnya dari latar belakang kehidupan ekonomi yang kurang mapan dan orang tua siswa/i merasa memiliki sekolah bahkan menjadi bagian dari Insan Teratai. Orangtua terlibat di dapur dan membersihkan lingkungan sekolah karena merasa sebagai bagian dari keluarga besar Insan Teratai.
Insan Teratai menerima siswa/i dari latar belakang suku, agama dan etnis yang berbeda. Mereka semua membentuk “Indonesia mini,” satu dalam kebhinekaan. Walau berasal dari latar kehidupan yang berbeda, mereka semua belajar untuk memahami dan menerima satu dengan yang lain. Semua keunikan yang dijumpai di Insan Teratai menjadi modal utama dalam mendukung pengembangan karakter anak didik.
Saya sendiri melihat bahwa apa yang unik dan berbeda menjadi sarana terbentuknya keharmonisan hidup. Seperti pelangi yang memancarkan kemilau indah yang dibentuk dari aneka warna, maka Insan Teratai sedang membentuk “pelangi kehidupan” bagi generasi yang sedang terlibat. Semua keunikan yang dimiliki oleh penghuni Insan Teratai diharmonisasikan melalui daya hening. Keheningan menjadi pusat untuk mengolah batin sebelum menerima pelbagai perbedaan yang ada di sekitarnya. Keheningan melatih orang untuk mengasah kepekaan sosial untuk melihat orang lain sebagai rekan perjuangan yang perlu dihargai dan bukan disingkirkan.
Seorang sasrawan melahirkan karya-karya besar dengan titik mula dari suasana hening. Demikian juga seorang komponis, menciptakan lagu-lagu dalam suasana batin hening. Sekolah Insan Teratai sedang mempersiapkan generasi cerdas berkarakter melalui pola pembinaaan dan penanaman nilai-nilai kehidupan. Nilai-nilai kehidupan yang sedang ditanam dalam diri anak didik perlu dirawat agar bisa bertumbuh secara baik. “Pupuk yang paling baik untuk tanaman, bukanlah pupuk kompos, melainkan jejak kaki sang petani.” Semakin sering seorang petani datang ke kebunnya dan meninggalkan jejak kakinya maka orang tahu bahwa sang petani sedang menanam dan merawat tanaman itu.
Penghuni Insan Teratai pun sama. Setiap hari menginjakkan kaki di halaman sekolah bahkan pada tangga naik, tertempel jejak-jejak kaki, memberi simbol yang sangat mendalam. Jejak kaki berwarna-warni menggambarkan keanekaragaman penghuninya dan pada jejak kaki inilah sang guru memperlihatkan kehadirannya untuk merawat “teratai-teratai” masa depan.***(Valery Kopong, Guru Agama Katolik)