Ketika mengikuti pertemuan PNK (Pendidikan Nilai Kemanusiaan) secara daring melalui zoom meeting, menghadirkan pembicara utama, Bu Lasmi menampilakan sebuah video tentang cell yang membentuk manusia, mulai proses awal pembentukan manusia dalam rahim seorang ibu. Video yang ditampilkan itu memperlihatkan betapa proses alami itu terjadi, mulai titik temu pembuahan dan membentuk janin. Pertanyaan penting dan mendasar yang dilontarkan oleh Bu Lasmi adalah, siapa yang menggerakan dan mengatur semua proses pergerakan cell itu? Pertanyaan ini memang sederhana tetapi memberikan dampak pada nalar kita untuk bertanya lanjut, siapa yang menjadi penggerak utama (motor primum) dari seluruh proses kehidupan manusia ini.
Bu Lasmi juga menceriterakan pengalaman pribadi saat berada di luar negeri di mana beliau harus pernah berdebat dengan seorang yang Atheis (yang tidak percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa).Ketika berhadapan dengan seorang teman yang Atheis, yang sama sekali tidak percaya akan Tuhan Yang Maha Esa, diperlihatkan sebuah video tentang proses terbentuknya seorang manusia di dalam rahim seorang ibu. Sang Atheis itu mulai berargumen dan argumentasinya mengarah pada penolakan tentang Sang Maha Kuasa namun akhirnya mengalah juga dan mengakui tentang kuasa Sang Pencipta sebagai yang mengatur seluruh hidup manusia. Tuhan Yang Maha Esa memang tidak kelihatan secara kasat mata tetapi Ia hadir dalam setiap hidup manusia. Pergumulan dengan ADA-nya Sang Maha Ada, rasanya ratio manusia tidak bisa memikirkan tentang keber-ADA-an DIA yang tidak kelihatan itu.
Memang menarik bahwa diskusi tentang Tuhan Yang Maha Esa itu ada atau tidak, menggiring kesadaran kita untuk mencari tahu. Secara sederhana kita bisa merasakan alam semesta sebagai karya agung-Nya yang sulit diselami oleh kedangkalan ratio manusia. Kita bisa bertanya diri, apakah saya sendiri bisa melihat telinga sendiri tanpa bantuan cermin? Apakah mataku sendiri bisa melihat mataku sendiri? Dua pertanyaan ini menjadi pertanyaan penting dan membangun kesadaran kita bahwa manusia berada dalam keterbatasan dan dalam keterbatasan itu, ia (seseorang) tidak bisa menyelami rahasia keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi menjadi penting bahwa mengasah kesadaran untuk menyadari dan bahkan mempertanyakan tentang Tuhan Yang Maha Esa merupakan sebuah keharusan dan sekaligus menyatakan ketergantugan hidup manusia pada Sang Pencipta. Relasi kita dengan alam dan peristiwa-peristiwa alam lainnya yang sulit dikaji oleh ratio manusia, kita bisa bergumul untuk mempertanyakannya sekaligus menyatakan bahwa manusia itu lemah dan terbatas. Banyak pemikir (ilmuwan) terlalu mendewakan rationya sendiri karena menciptakan sesuatu dan pada akhirnya lupa bahkan tidak mengakui adanya Sang Pencipta. Manusia adalah makhluk yang otonom, dan karena itu para filsuf dan ilmuwan berusaha untuk memproklamirkan diri sebagai penggagas dan penemu pelbagai hal untuk kepentingan manusia. Para pemikir sepertinya men-tuhan-kan dirinya bahkan filsuf Nietze, saking pintarnya untuk memuji diri sendiri dan memproklamirkan tentang kematian Sang Pencipta.
Gagasan para pemikir itu terkesan mengesampingkan peran Sang Pencipta dalam seluruh hidup manusia. Apa yang dikatakan sang pemikir itu bisa membahasakan sebuah kekosongan diri, hambarnya rasa untuk tidak lagi menyadari kehadiran Sang Pencipta melalui alam semesta ini. Para pemikir lebih bergulat dengan rationya sendiri namun pada titik tertentu, ketika berada pada ambang batas hidupnya, ia pada akhirnya mengakui adanya Sang Pencipta. Hanya dengan pengakuan yang tulus, sang pemikir itu bisa mengalami kematian yang berharga dan menggembirakan.***(Valery Kopong)