Ketika berbicara tentang waktu, semua orang tentu memiliki pandangan yang berbeda-beda. Waku, bagi banyak orang, dilihat secara obyektif dari putaran jarum jam, pergantian hari, bulan dan tahun. Dalam perputaran waktu, manusia tanpa sadar turut terlibat dalam berputaran waktu. Pada titik tertentu, setiap manusia menyadari diri sebagai orang yang sudah lama berziarah di dunia ini dan pada titik yang lain, ketika di ulang tahun, setiap orang menyadari ada penambahan usia.
Bagi para filsuf, waktu bisa dilihat dari tiga dimensi yang berbeda, yakni masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Tiga dimensi waktu ini tentu dilewati oleh setiap orang. Setiap orang, hidup dan meninggalkan jejak masa lampau. Hanya melalui “hari ini,” seseorang bisa memandang masa lalu sebagai “cermin” untuk melihat diri dan sekaligus memproyeksikan masa depan yang akan diraihnya.
Waktu, menurut Miss Laksmi adalah kebenaran mutlak yang dimiliki oleh alam semesta. Pandangan sederhana ini membahasakan bahwa persoalan waktu, manusia tidak bisa melakukan intervensi atau bahkan mendesain waktu. Ada penguasa tunggal pemilik waktu dan manusia hanya bisa terlibat dalam pusaran waktu untuk melihat kembali proses kehidupan yang dilaluinya.
“Jadi, apakah waktu itu? Jika tak seorang pun mengajukan pertanyaan itu, aku tahu; jika seorang mengajukan pertanyaan itu, dan aku mau memberi penjelasan, aku tidak tahu lagi”. Jawaban jujur dari Augustinus saat ditanya perihal waktu. Ia tidak mampu menjelaskan definisinya. Kahlil Gibran juga sama seperti Augustinus. Ketika ia ditanya seorang ahli astronomi perihal waktu, Kahlil Gibran menjawab “waktu itu cinta, tidak bisa diukur dan dibagi”. Dalam mencintai seseorang harus dilakukan dengan sepenuh hati, tidak bisa dibagi-bagi. Contoh, jika ada empat, apakah kita akan membagi cinta kasih itu 25 persen untuk setiap orangnya? Kalau cinta itu sepenuh hati, apakah kita akan memberikannya 100% untuk setiap orangnya?
Memahami waktu dalam proses penanaman nilai-nilai kehidupan, tugas seorang pendidik adalah menanamkan nilai-nilai kebaikan itu dalam “onggokan waktu” dan butuh proses panjang. Waktu bisa dipahami secara singkat ketika kita bicara tentang nilai-nilai kehidupan dalam batasan waktu tertentu tetapi untuk bisa terjadi proses internalisasi (pembatinan) nilai itu butuh proses panjang dan melelahkan. Seorang pendidik bisa menanamkan nilai-nilai itu tetapi suatu waktu bisa melihat nilai-nilai itu melalui tindakan baik pada mereka yang pernah ditanami nilai.
Setiap manusia berada pada “rel waktu.” Tanpa waktu, manusia tidak bisa berproses. Manusia terus berada dalam waktu dan karena waktu pula kita bisa melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. “Waktu adalah kebenaran mutlak yang dimiliki oleh alam semesta.Seluruh alam semesta beserta isinya berada dalam bingkai waktu yang tidak dapat disangkal oleh siapapun. Segalanya memiliki waktu dan segalanya tidak dapat keluar dari bingkai waktu.” (Valery Kopong)